KOTA BATU
Sejak abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai
tempat
peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan, karena wilayah
adalah daerah pegunungan dengan kesejukan udara yang nyaman, juga
didukung oleh keindahan pemandangan alam sebagai ciri khas daerah
pegunungan.
Pada waktu pemerintahan Raja Sindok , seorang petinggi Kerajaan
bernama Mpu Supo diperintah Raja Sendok untuk membangun tempat
peristirahatan keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat
mata air. Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu
kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya juga sakti
mandraguna itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat
peristirahatan keluarga kerajaan serta dibangunnya sebuah candi yang
diberi nama Candi Supo.
Ditempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang
mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan.
Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris yang
bertuah sebagai benda pusaka dari kerajaan Sendok. Oleh karena sumber
mata air yang sering digunakan untuk mencuci benda-benda kerajaan yang
bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural (Magic) yang maha dasyat,
akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk akhirnya
berubah menjadi sumber air panas. Dan sumberair panas itupun sampai saat
ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Wilayah Kota Batu yang terletak di dataran tinggi di kaki Gunung
Panderman dengan ketinggian 700 sampai 1100 meter di atas permukaan
laut, berdasarkan kisah-kisah orang tua maupun dokumen yang ada maupun
yang dilacak keberadaannya, sampai saat ini belum diketahui kepastiannya
tentang kapan nama "B A T U" mulai disebut untuk menamai kawasan
peristirahatan tersebut.
Dari beberapa pemuka masyarakat setempat memang pernah mengisahkan
bahwa sebutan Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran
Diponegoro yang bernama Abu Ghonaim atau disebut sebagai Kyai Gubug
Angin yang selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan
panggilan Mbah Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering
memperpendek dan mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang
dirasa terlalu panjang, juga agar lebih singkat penyebutannya serta
lebih cepat bila memanggil seseorang, akhirnya lambat laun sebutan Mbah
Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau batu sebagai sebutan yang
digunakan untuk Kota Dingin di Jawa Timur.
Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah keberadaan Abu Ghonaim
sebagai cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat
yang memulai babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan
wilayah Batu, sebenarnya Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari
JawaTengah. Abu Ghonaim sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang setia,
dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya Jawa Tengah dan hijrah
dikaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran dan penangkapan
dari serdadu Belanda (Kompeni)
Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama
dengan masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa,
pengetahuan dan ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut
Pangeran Diponegoro. Akhirnya banyak penduduk dan sekitarnya dan
masyarakat yang lain berdatangan dan menetap untuk berguru, menuntut
ilmu serta belajar agama kepada Mbah Wastu.
Bermula mereka hidup dalam kelompok (komunitas) di daerah Bumiaji,
Sisir dan Temas akhirnya lambat laun komunitasnya semakin besar dan
banyak serta menjadi suatu masyarakat yang ramai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar